Selasa, 10 Juni 2014

Khomeini, Revolusi Islam dan Kaum Pengkafir

Maka apakah orang yang berjalan terjungkal di atas mukanya itu lebih banyak mendapatkan petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?” (QS 67: 22)

Mereka yang mencintai Khomeini bisa jadi protes dengan logika yang kita bangun di sini. Mungkin mereka terganggu saat kita membanding-bandingkan sosok Khomeini dengan para pembenci dan pengkafirnya. Begitu pula dengan cara kita membanding-bandingkan revolusi Islam Iran dengan sekrup kecil para pembenci dan pengkafirnya di Indonesia—atau di belahan dunia Islam mana pun. Tapi perbandingan seperti ini penting, sejatinya, semata demi menghadirkan kontras untuk melumerkan otak-otak yang beku.

Lebih dari itu, pembandingan keras seperti itu juga bukan sesuatu yang dibuat-buat. Toh, jaga raya ini memang sarat dengan kontras. Siang terbalik dari malam; langit vs bumi; terang vs gelap; wangi vs busuk, dll, dst. Semua itu hadir untuk membetot saraf-saraf manusia dan menstimulasinya ke arah evolusi yang berkelanjutan. Al-Qur’an, yang kerap menggunakan perbandingan ekstrim seperti itu, menyebut rangkaian kontras itu sebagai “tanda bagi orang-orang yang berakal”.

Ambil misal dalam surah An-Nahl ayat 17, Allah berfirman: “Apakah yang mencipta sama dengan yang tidak mencipta?” Dalam surah As-Sajdah ayat 18, Allah berfirman: “Apakah orang beriman sama dengan orang fasik? Mereka tentulah tidak sama.” Dalam surah Al-Mulk ayat 22, Allah berfirman: “Maka apakah orang yang berjalan terjungkal di atas mukanya itu lebih banyak mendapatkan petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?”

Ayat-ayat ini mengandung pertanyaan retoris yang bertujuan mendesak benak kita untuk mengakui kenyataan yang tak terbantahkan. Di antara Pencipta dan yang tidak; orang beriman dan orang fasik serta; orang yang berjalan terjungkal dan berjalan tegap, ada kontras yang begitu mencolok. Sulit orang untuk dapat menyamarkan atau mencampur-adukkan antara kontras-kontras tersebut.

Jadi, logika yang kami bangun di sini tidak bertujuan menghina atau melecehkan siapapun. Ini justru menggugah kesadaran mereka yang lalai dan terseret prasangka. Deretan pertanyaan retoris kami hanyalah upaya mengelektrifisir sel-sel otak yang masih tersisadan menggedor kesadaran dalam diri yang mungkin tertidur.

Percikan Kuasa Ilahi

Kebenaran memang bukan barang yang sulit ditemukan. Ia menolak untuk surut, apalagi sirna. Ia terus memaksa mengungkapkan dirinya dalam berbagai keadaan dengan berbagai cara. Tiap saat ia akan terus melawan kepalsuan yang hendak menyerupainya atau menutup-nutupinya. Begitu pula kebenaran sosok Khomeini dan para pengkafirnya. Tak ada yang perlu dibingungkan di sini; semua hal tentang Khomeini dan para pengkafirnya dapat dengan mudah kita bentur-benturkan sendiri agar kita lihat mana yang benar dan mana yang sejatinya palsu dan keliru.

Di tengah pengkafiran yang menerpa sosok Khomeini, orang bisa dengan mudah menemukan jawaban atas sejumlah pertanyaan ini: Benarkah Khomeini kafir? Benarkah para pengkafirnya lebih layak menyandang gelar sebagai Mukmin dan Muslim? Benarkah Ahmad bin Zen Alkaff, Thohir Alkaff, Muhammad Baharun, Bachtiar Natsir, Athian Ali, Abu Jibril, Cholil Ridwan, Fahmi Salim, Yunahar Ilyas, Amirsyah Tambunan, Cholil Nafis, Ma’ruf Amin, dan setumpuk tim penulis buku panduan MUI tentang kesesatan Syiah -- yang di dalamnya juga berisi pengkafiran eksplisit atas sosok Khomeini -- para pengelola situs arrahmah, situs nahimunkar, Radio Rodja, dan sebagianya itu lebih layak disebut Muslim ketimbang Khomeini? Manakah di antara mereka yang lebih mendekati bayangan kita tentang sosok Rasulullah dan risalah Islam yang suci?

Atau marilah kita beranjak sedikit lebih jauh, mencari tokoh-tokoh di balik sosok-sosok lokal tadi, yakni para dalang internasional yang gemar mengkafirkan Khomeini, seperti Ihsan Ilahi Zahir, Al-Khatib, Al-Uraifi, Adnan Al-‘Ar’ur, bahkan seluruh ulama Saudi Wahabi lainnya, dan bertanya yang sama: manakah di antara mereka yang menurut kita lebih layak menyandang gelar sebagai Muslim? Atau marilah kita bandingkan siapa saja yang mengkafirkan Khomeini dengan Khomeini sendiri. Hasilnya kita boleh simpan di hati dan boleh juga kita sampaikan kepada siapa pun yang menurut kita layak mendengarnya.

Jawaban atas sederet pertanyaan tadi dengan mudah bisa kita gali dari Mbah Google. Barang satu dua klik kita sudah bakal menemukan gambaran tentang perbedaan maqom para pengkafir itu di satu sisi dan Khomeini di sisi lain. Puncaknya, dengan hati yang jujur, kita pun akan sampai pada kesimpulan bahwa para pengkafir itu sepertinya sedang memandang diri mereka sendiri di cermin yang retak. Bagaimana tidak? Dengan mata kepala sendiri kita mampu melihat Khomeini dan sejarah hidup perjuangannya serta revolusi dan pemerintahan Islam yang dibangunnya di satu sisi dan tindak tanduk serta kepribadian para pengkafirnya. Sekarang kita hidup di dunia yang, untungnya, terdokumentasi dengan baik; bukan dunia yang dapat dengan mudah dituturkan sesuai pesanan para penguasa seperti masa-masa lampau.

Revolusi Islam Iran adalah sumber energi yang ditemukan Ruhullah dalam dirinya sendiri dan bangsanya, setelah melampaui perjuangan dan pencarian tanpa henti. Revolusi itu tidak hanya mampu menggulingkan Syah tapi ia telah berubah jadi sumbu perubahan dan pembaharuan di segenap wilayah Timur Tengah dan dunia Islam untuk jangka waktu yang lama.

Seolah ingin menegaskan pandangan di atas, dalam salah satu ceramah rutinnya di awal-awal Revolusi Islam Iran, Ruhullah menegaskan bahwa semua “keajaiban” yang terjadi di Iran tak lebih daripada jelweh az qudrate Khuda (percikan kekuasaan Ilahi). Inilah penegasannya pada segenap unsur bangsanya untuk bersiap menyongsong gerakan yang lebih besar, dengan segala pengorbanan yang diperlukan.

Khomeini adalah ulama yang sejak awal menekankan pada pentingnya jihad dalam diri (jihad an-nafs). Baginya, inilah kunci kesempurnaan manusia—beserta gerakan inidivual dan sosialnya. Dia mengingatkan kita pada fakta bahwa kehidupan ini merupakan ajang pergulatan antara pasukan Ar-Rahman (Sang Pengasih) dan thaghut (penindas yang melampaui batas). Berbicara di hadapan pelajar-pelajar agama di Najaf beberapa tahun sebelum Revolusi, Khomeini berkata: “Jika seorang manusia yakin bahwa seluruh alam penciptaan, yang terlihat maupun yang gaib, adalah suatu bentuk kehadiran Ilahi dan bahwa Tuhan Yang Mahakuasa hadir di setiap tempat dan memperhatikan segala sesuatu—jika seseorang menyadari kehadiran Tuhan ini, dan juga akan nikmatnya anugerah Tuhan, apakah mungkin dia akan melakukan dosa? Seseorang tak akan melakukan dosa atau perbuatan hina di hadapan seorang anak kecil yang melihatnya; lantas bagaimana mungkin dia sanggup melakukannya dalam kehadiran dan kesadaran akan Tuhan Yang Mahakuasa dan tak memiliki rasa takut atau ragu dalam melakukan kejahatan itu—apapun bentuknya? Maksiat bisa terjadi lantaran orang meyakini kehadiran anak kecil tapi tak meyakini kehadiran Tuhan, meskipun mungkin dia memiliki pengetahuan tentangnya...Sesungguhnya, tak perlulah seseorang memiliki keimanan yang pasti; sudah cukup baginya untuk menganggap bahwa janji-janji dan ancaman-ancaman yang disebutkan di dalam al-Qur’an mungkin saja benar, lalu memperbaiki perilakunya sesuai dengan kadar kemungkinan itu dan menghentikan (meredakan) perbuatan dosa yang berkelanjutan.”

Bagi Khomeini, jihad bukanlah pilihan atau tawaran; ia merupakan suatu keharusan. Orang yang pernah melihat Ruhullah dari dekat pasti membenarkan bahwa dia punya kekuatan magis yang muncul dari disiplin spiritual yang panjang dan gigih. Tidak perlu orang punya kepekaan spiritual untuk mengamati bobot dan aura mistis dalam sosok tokoh ini. Dia jelas bukan selebritis penganjur agama, yang perilaku dan kepribadiannya bertentangan dengan perkataannya. Dia adalah manusia dengan disiplin dan konsistensi yang membelalakkan mata. Keluarga dan seluruh muridnya bersaksi bahwa hidup dan kerja Ruhullah bergerak persis mengikuti arah kompas yang tak pernah berubah. Bagi para muridnya, Khomeini ibarat jarum jam yang tak pernah berhenti berdetak. Ajek. Lantang.

Khomeini juga sosok yang percaya pada tindakan, dan kurang punya harapan pada pembicaraan. Setiap kali berbicara di televisi, yang biasanya ditayangkan pada malam Rabu sepanjang masa hidupnya, nada suaranya hampir-hampir tidak terdengar. Ada kesan kuat bahwa dia adalah orang yang tidak menikmati kegaduhan. Dan kalaupun akhirnya dia terpaksa berada di tengah kegaduhan, dia terlihat begitu menjaga jarak, tetap dalam keheningannya sendiri.

Ruhullah percaya bahwa pendakian menuju puncak Perjumpaan membutuhkan pengorbanan tak terkira. Pendakian ini membutuhkan penyucian, pengorbanan terus-menerus dan keteguhan tanpa henti. Tak ada yang bisa membuat kita bergerak ke arah itu selain tekad untuk berkorban. Kehidupan yang diisi dengan munajat, airmata, rintihan, kemesraan dengan Sang Pencipta—pendeknya: kehidupan abnormal untuk pandangan manusia biasa. Puncaknya, manusia akan melebur dengan Tuhannya. Setelah semua pengorbanan dan perjuangan gigih ini, manusia akan sampai pada apa yang digambarkan oleh Ruhullah via hadis qudsi berikut: “Tidak ada sesuatu yang dilakukan oleh salah seorang di antara hamba-Ku yang mendekatkan diri kepada-Ku yang lebih Aku sukai daripada (melaksanakan) kewajiban yang telah Kutetapkan kepadanya. Setelah itu, barulah Dia mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan ibadah nafilah (sunnah), sehingga Aku mencintainya. Dan bila Aku sudah mencintainya, maka saat itu Aku akan menjadi telinganya yang dia pakai untuk mendengar, matanya yang dia pakai untuk melihat, lidahnya yang dia pakai untuk berkata-kata, dan tangannya yang dia pakai untuk memegang. Jika dia memohon kepada-Ku pasti akan Aku kabulkan dan jika dia meminta kepada-Ku, maka pasti akan Aku beri.”

Menumbangkan Setan Besar Amerika
Revolusi Islam Iran menghadirkan salah satu peristiwa gerakan Islam yang paling spektakuler dan massif. Jutaan manusia tumpah ke jalanan meneriakkan takbir dan shalawat, membawa poster-poster persatuan Islam, perlawanan atas hegemoni Barat, kutukan atas Amerika dan rezim zionis Israel dan lain sebagainya. Ratusan ribu manusia gugur sebagai syuhada mengusung revolusi ini. Para ahli teori revolusi dan gerakan sosial hingga kini masih terkesiap menyaksikan detail apa yang terjadi sejak awal Khomeini meneriakkan perlawanan terhadap hegemoni Amerika di Iran, dan anteknya, Syah Reza Pahlevi.

Ratusan ribu pemuda spontan menyambut ajakan Khomeini, membusungkan dada mereka di hadapan rentetan tembakan pasukan Syah, membaringkan tubuh-tubuh mereka di jalanan kota-kota besar Iran untuk melawan Syah dan membela Sang Imam. Hampir semua golongan rakyat Iran terbetot ke dalam pusaran perjuangan spiritual Khomeini. Para teoretisi Barat telah sampai pada kesimpulan bahwa revolusi Islam Iran adalah gerakan Islam terbesar di era modern ini.

Kandang Gelap Bin Zen dkk
Tapi, berpuluh tahun kemudian di Indonesia, tiba-tiba seorang tua yang tidak tamat SMA, Ahmad bin Zen Alkaff, dan mereka yang berpikiran di poros pengkafir yang sama, punya versi cerita lain tentang Khomeini dan revolusi serta pemerintahan Islam yang dilahirkannya di Iran. Mereka punya teori-teori konspirasi tentang semua itu – dan memagaphonkannya ke khalayak banyak seolah mereka khatam luar dalam soal Khomeini dan Iran.

Anda boleh menyeringai membayangkan kegilaan bin Zen dan mereka yang hidup dalam gua kegelapan pikir yang sama. Tapi, boleh percaya boleh tidak, kegilaan para perumus teori konspiras itu tidak kenal batas. Mereka bahkan sampai pada kesimpulan bahwa ratusan ribu bahkan jutaan rakyat Iran yang meneriakkan takbir, membawa ribuan poster bertuliskan “Revolusi Islam”, “Republik Islam”, mengajak persatuan Islam, semuanya itu tak lebih dari sebuah sandiwara berjudul “taqiyah”.

Ohoy. Bagi mereka, semua yang terjadi di Iran, mulai dari Khomeini sampai anak-anak muda yang menjadi bahan bakar revolusi itu, semua itu hanyalah untuk menipu umat Sunni dan men-Syiah-kan kaum mayoritas Sunni. Tak lebih dan tak kurang.

Lantas, setelah bangsa Iran berhasil ‘bertaqiyah’ melakukan revolusi Islam, mereka juga harus melanjutkan ‘taqiyahnya’ melalui sebuah referendum untuk memilih republik Islam, dan akhirnya membentuk pemerintahan Islam. Semua itu, lagi-lagi menurut ketua Yayasan Al-Bayyinat, Ahmad bin Zen Al-Kaff, hanyalah taqiyah.

Serangan Saddam atas Republik Islam Iran yang baru saja keluar dari pergolakan dahsyat itu, menurut Bin Zen dan sebangsanya, adalah upaya untuk menghambat laju perkembangan Syiah—sebuah upaya dari Saddam untuk meninggikan kalimat Allah. Bin Zen Al-Kaff dan kawan-kawannya menganggap Saddam adalah khalifah Sunni yang sedang berusaha membendung kekuatan Syiah yang ‘bertaqiyah’ mengumandangkan revolusi dan republik Islam dan ‘taqiyah’ membela hak-hak bangsa Palestina melawan penjajah zionis.

Sayangnya, Bin Zen dan kawan-kawannya lupa menjelaskan secara serius motif di balik semua teori konspirasi ‘taqiyah’ super akbar itu: apakah kira-kira yang dapat membuat puluhan juta orang sama-sama rela melakukan kebohongan besar (baca: taqiyah) membesar-besarkan nama Islam, meneriakkan takbir, memberi negaranya nama Islam? Apakah karena dengan semua itu Iran akan masuk dalam klub Negara-negara Islam Penghasil GDP tertinggi di dunia? Atau dapat ikut dalam Dewan Keamanan Negara-negara Islam? Atau Pakta Aliansi Militer Negara-negara Islam yang dapat dengan mudah mengalahkan ancaman NATO atau Uni Soviet (kala itu)? Atau apakah rakyat Iran berharap santunan dari yayasan-yayasan Sunni yang menguasai saham-saham Wallstreet? Atau karena bangsa dan negara Iran ketika revolusi itu telah jatuh bangkrut dan dengan semua sandiwara itu mereka akan mendapat kucuran dana dari IMF Islam di bawah kekhalifahan dan imperium Sunni?

Atau, apa? Apa? Marilah kita jawab pertanyaan ini!

Dengan membela bangsa Palestina yang—by the way—mayoritas bermazhab Sunni dan tidak pernah beralih jadi Syiah sejak Iran mengubah kedutaan besar Israel di era Syah menjadi kedutaan besar Palestina, apa sih yang Iran dapat? Teknologi nuklir dari ilmuwan Sunni? Jaminan dana dari konglomerat Muslim Sunni? Fatwa bahwa Syiah adalah Islam dari Al-Azhar? Boleh naik haji? Boleh ikut dalam Organisasi Kooperasi Islam (OKI)? Atau jangan-jangan, semua pengorbanan rakyat Iran dengan segala revolusinya, perang delapan tahunnya mempertahankan diri dari agresi Saddam, sanksi demi sanksi AS dan Barat, semua itu bertujuan agar Iran mendapat kerelaan dari Bin Zen dkk? Atau ini semata agar Iran dapat diakui sebagai Muslim, di tengah-tengah ratusan juta Muslim dibantai, dihina, dinista, diinjak-injak tanpa pembela di nyaris seluruh dunia?

Ayolah … apa kira-kira maksud dari semua teori konspirasi puluhan juta rakyat Iran tersebut? Atau penjelasannya adalah sebenarnya puluhan juta rakyat Iran tak setuju dengan sandiwara Khomeini mencetuskan revolusi dan pemerintahan Islam tapi mereka semua takut dan tak mau melawan? Ya, kalau rakyat Iran itu begitu penakut menghadapi Khomeini dan Khamenei saat ini, mengapa pula mereka tak setakut itu saat menghadapi Syah Iran saat dia berkuasa?

Ya, memang semua teori konspirasi berbalut taqiyah ini sulit dipahami oleh akal yang waras. Tapi begitulah isi pikiran, ceramah, tulisan dan selebaran para pengkafir Khomeini di Yayasan Al-Bayyinat, dan dari situ menyebar ke sebagian orang MUI Jatim dan seterusnya ke berbagai belahan Jawa Timur. Di kepala orang-orang seperti Cholil Ridwan, Athian Ali, Bachtiar Natsir, Fahmi Salim, Ma’ruf Amin, dll juga kurang lebih berkembang pola pikir yang sama.

Mohon maaf jika kami terpaksa bertanya: Hei bin Zen dkk, obat-obat psikoaktif jenis apa yang telah kalian konsumsi sampai kalian bisa berhalusinasi sejauh itu? Bagaimana kalian bisa sampai mempunyai kemampuan berkhayal sejauh itu tanpa ada satu pun yang menghasilkan manfaat nyata bagi umat Islam dan umat manusia secara umum? Mengapa tidak berkhayal jauh soal metode pengobatan kanker, penyakit jantung, teknologi penghemat BBM, dan sebagainya yang kebetulan sangat dibutuhkan oleh umat?

Mungkin kami sedikit lebih langsung: Apa sih hebatnya mayoritas Muslim Sunni ini? Apa yang bisa mereka lakukan? Apa yang sudah mereka lakukan untuk membela saudara-saudara Sunni mereka di Palestina yang dihinakan, dinistakan, dan sebagainya? Apa kira-kira manfaat yang hendak diraih Khomeini dan rakyatnya dalam bermuslihat atau menurut kalian bertaqiyah seperti itu? Untuk apa? Setelah 30 tahun mereka bertaqiyah dan tidak mendapatkan apa-apa, mengapa mereka tidak mengubah taktik? Apa yang dapat diraih Iran sebagai negara dan bangsa bila kemudian dianggap Muslim oleh mayoritas Muslim? Apakah pengaruh para pengkafir Syiah terhadap rakyat dan negara Iran?

Apakah kita lupa bahwa Saddam Husein pun akhirnya perang melawan rakyat Iran selama 8 tahun dengan menggunakan bendera Sunni? Dan bukankah Saddam gagal? Bukankah sekarang Irak justru bersahabat dengan Iran? Bukankah kemudian umat Sunni ini tidak bisa melakukan apa-apa terhadap Iran?

Dan bukankah jauh sebelum ada revolusi Islam Iran, umat Sunni ini juga tidak dalam keadaan yang layak jadi objek iri hati? Bukankah umat Sunni ini tidak memiliki kelebihan berarti apa-apa?

Jadi, jelaslah, semua yang ada dalam otak para pengkafir Khomeini tak lebih dari pengaruh halusinogen dan obat psikedelik lain yang sangat kuat. Kerusakan persepsi dalam otak para pengkafir itu timbul dari kebencian yang begitu merusak, yang dapat dari campuran antara kebutuhan mencari nafkah dan keterasingan dari objek yang dibencinya.

Ada suatu momen yang harus kita tunggu dari para pengkafir itu, satu demi satu mereka, yaitu momen kematian mereka. Lalu marilah kita bandikan kematian mereka dengan kematian Imam Khomeini yang mereka telah kafirkan, dan sekali lagi kita kontraskan kedua peristiwa itu dalam pikiran dan ingatan kita. Manakah di antara keduanya yang lebih layak menyandang gelar sebagai Muslim dan Mukmin yang telah dimuliakan Allah? Imam Khomeini telah wafat dan kita mengetahui melalui video bagaimana belasan juta orang rakyat Iran ‘bertaqiyah’, berjalan puluhan bahkan ratusan kilo ikut melayat dan menguburkannya dalam arak-arakan airmata. Kini marilah kita pelototi satu demi satu para pengkafirnya, adakah ribuan orang yang akan ikut menguburkan mereka? Dalam keadaan apa mereka mati? Dan apakah kematian mereka layak disebut sebagai kematian seorang Muslim dan Mukmin yang dimuliakan Allah?

“Maka apakah orang yang berjalan terjungkal di atas mukanya itu lebih banyak mendapatkan petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?” 
(QS 67: 22). 

0 komentar:

Posting Komentar